Jumat, 16 Agustus 2013



BAB I

 PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan orang dewasa, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa. Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi,di Negara berkembang infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan
Menurut WHO 2014 memperkirakan setiap tahunnya penyakit Bronchopneumonia berperan dalam I juta kasus penyakit pernafasan yang mematikan, kebanyakan terjadi di Negara berkembang seperti Afrika, Asia, India dan Indonesia. Bronchopneumonia merupakan penyakit infeksi yang banyak menyerang bayi dan anak balita bahkan orang dewasa sekalipun. Menurut laporan WHO, sekitar 850.000 hingga 1,5 juta orang meninggal dunia tiap tahun akibat bronkopneumonia. Bahkan UNICEF dan WHO menyebutkan pneumonia sebagai penyebab kematian anak balita tertinggi, melebihi penyakit-penyakit lain seperti campak, malaria, serta AIDS. Kejadian Bronchopneumonia pada masa balita berdampak jangka panjang yang akan muncul pada masa dewasa yaitu dengan penurunan fungsi ventilasi paru. Sehingga sampai sekarang Bronchopneumonia masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia.(Riskesdes,2014)
Di Indonesia, bronkopneumonia merupakan penyebab kematian nomor  dua setelah kardiovaskuler dan TBC. Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Kasus bronkopneumonia ditemukan paling banyak menyerang anak balita. Kejadian  Bronchopneumonia pada anak di Indonesia berkisar antara 23% – 27,71% /tahun. Selama kurun waktu tersebut cakupan penemuan bronkopneumonia tidak pernah mencapai target nasional temasuk target 2014 yang sebesar  80%(Riskesdas. 2014)
B. Tujuan
1.2  Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan yang tepat pada pasien dengan penyakit  broncopneumonia?

1.3  Tujuan Umum

Untuk dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan yang tepat pada pasien dengan penyakit broncopneumonia.

1.4  Tujuan Khusus

1.4.1 Untuk mengetahui secara keseluruhan mengenai penyakit broncopneumonia

1.4.2 Menambah pengetahuan mengenai berbagai penyakit pada sistem pernafasan salah satunya  broncopneumonia  yang telah terjadi di masyarakat sekitar.

 BAB II

 PEMBAHASAN

 A. Konsep Dasar Penyakit
 1. Pengertian
 Broncho pneumoni adalah frekuensi komplikasi pulmonari, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, pernafasan meningkat (Suzanne G Bare, 1993).
 Bronkho pneumonia adalah salah satu peradangan paru yang terjadi pada jaringan paru atau alveoli yang biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratus bagian atas selama beberapa hari. Yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing lainnya. (Dep. Kes. 1996 : Halaman 106).
 Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. (Smeltzer & Suzanne C, 2002 : 572).
 Bronchopneomonia adalah penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter sekitar 3 sampai 4 cm mengelilingi dan juga melibatkan bronchi. (Sylvia A. Price & Lorraine M.W, 2006: 805).
 Kesimpulan Bronchopneomonia adalah salah satu jenis pneumonia tepatnya pneumononia lobaris yang penyebaran daerah infeksinya berupa penyebaran bercak dan dapat meluas ke parenkim paru yang ada disekitarnya.

2. Etiologi

Secara umun individu yang terserang bronkopneumonia diakibatkan oleh adanya penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme patogen. Orang  yang normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ pernafasan yang terdiri atas : reflek glotis dan batuk, adanya lapisan mukus, gerakan silia yang menggerakkan kuman keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat.

a. Faktor Infeksi

 - Pada neonatus : Streptocccus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).

 - Pada bayi :

    Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.

    Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.

    Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, Bordetella pertusis.

 - Pada anak-anak :

   Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP

   Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia

    Bakteri : Pneumococcus, Mycobakterium tuberculosa.

 - Pada anak besar – dewasa muda :

     Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis

     Bakteri : Pneumococcus, Bordetella Pertusis, M. tuberculosis.

b. Faktor Non Infeksi

Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
Bronkopneumonia hidrokarbon dapat terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau pemasangan selang NGT ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
Bronkopneumonia lipoid dapat terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
3. patofisiologi 
 Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus penyebab Bronchopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus dan jaringan sekitarnya. . Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
 A. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
 Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
 B. Stadium II/hepatisasi (48 jam berikutnya)
 Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
 C. Stadium III/hepatisasi kelabu (3 – 8 hari)
 Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
 D. Stadium IV/resolusi (7 – 11 hari)
 Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual.
 Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai pelumas yang berfungsi untuk melembabkan rongga fleura. Emfisema ( tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru ) adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas.

Komplikasi dan Prognosis Bronkopneumonia Disease

4. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada anak yang mengalami bronkopneumonia terjadi akibat tidak dilakukan pengobatan secara segera. Komplikasi yang kemungkinan terjadi pada diantaranya sebagai berikut:
Otitis media

Terjadi apabila anak yang mengalami bronkopnemonia tidak segera diobati sehingga jumlah sputum menjadi berlebih dan akan masuk ke dalam tuba eustaci sehingga menghalangi masuknya udara ke telinga tengah.
Bronkiektase

Hal ini terjadi akibat bronkus mengalami kerusakan dan timbul fibrosis juga terdapat pelebaran bronkus akibat tumpukan nanah.
Abses Paru

Rongga bronkus terlalu banyak cairan akibat dari infeksi bakteri dalam paru – paru.
Empiema

Anak yang mengalami bronkopneumonia, paru – parunya mengalami infeksi akibat bakteri maupun virus sehingga rongga pleuranya berisi nanah.
Prognosis

Prognosis dari penyakit bronkopneumonia yaitu dapat sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.


5. Penatalaksanaan

Terapi dan Tindakan medis

Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifarmasi maka yang biasanya diberikan:
Penisilin 50.000 U/kgBB/hari,ditambah dengan kloramfenikol 50-70 mg/kgBB/hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari.
Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol infus.
Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan dapat diberikan koreksi sesuai denagn hasil analisa gas darah arteri.
Pasien bronkopnemonia ringan tidak usah dirawat dirumah sakit.


Pencegahan Bronkopneumonia Disease

Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan cara:
Mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia
Menghindari kontak dengan penderita penyakit bronkopneumonia
Meningkatkan sistem imun terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti:
pola hidup sehat dengan cara makan makanan yang bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, serta rajin berolahraga
melakukan vaksinasi seperti: Vaksinasi Pneumokokus, Vaksinasi H. Influenza, Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak utamanya anak dengan daya tahan tubuh yang rendah, vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.

 Penatalaksanaan Keperawatan yang dapat diberikan pada klien bronkopneumonia adalah:
 a. Menjaga kelancaran pernapasan
 b. Kebutuhan istirahat
 c. Kebutuhan nutrisi dan cairan
 d. Mengontrol suhu tubuh
 e. Mencegah komplikasi atau gangguan rasa nyaman dan nyaman
 Sementara Penatalaksanaan medis yang dapat diberikan adalah:
 a. Oksigen 2 liter/menit (sesuai kebutuhan klien)
 b. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makan eksternal bertahap melalui selang nasogastrik dengan feeding drip
 c. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta agonis untuk transpor muskusilier
 d. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit (Arief Mansjoer,2000).

 B. Konsep Asuhan Keperawatan

 1. Pengkajian
 a. Fokus Pengkajian
 Usia bronkopneumoni sering terjadi pada anak. Kasus terbanyak sering terjadi pada anak berusia dibawah 3 tahun dan kematian terbanyak terjadi pada bayi berusia kurang dari 2 bulan, tetapi pada usia dewasa juga masih sering mengalami bronkopneumonia.
 b. Keluhan Utama : sesak nafas
 c. Riwayat Penyakit
 1) Pneumonia Virus
 Didahului oleh gejala-gejala infeksi saluran nafas, termasuk renitis (alergi) dan batuk, serta suhu badan lebih rendah daripada pneumonia bakteri.
 2) Pneumonia Stafilokokus (bakteri)
 Didahului oleh infeksi saluran pernapasan akut atau bawah dalam beberapa hari hingga seminggu, kondisi suhu tubuh tinggi, batuk mengalami kesulitan pernapasan.
 d. Riwayat Kesehatan Dahulu
 Sering menderita penyakit saluran pernapasan bagian atas riwayat penyakit fertusis yaitu penyakit peradangan pernapasan dengan gejala bertahap panjang dan lama yang disertai wheezing (pada Bronchopneumonia).
 e. Pengkajian Fisik
 1) Inspeksi : Perlu diperhatikan adanya takhipnea, dispnea, sianosis sirkumoral, pernafasan cuping hidung, distensi abdomen, batuk semula non produktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik nafas pada pneumonia berat, tarikan dinding dada akan tampak jelas.
 2) Palpasi : Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit dan nadi mengalami peningkatan.
 3) Perkusi : Suara redup pada sisi yang sakit.
 4) Auskultasi : Pada pneumoniakan terdengar stidor suara nafas berjurang, ronkhi halus pada sisi yang sakit dan ronkhi pada sisi yang resolusi, pernafasan bronchial, bronkhofoni, kadang-kadang terdenar bising gesek pleura.
 f. Data Fokus
 1) Pernapasan
 Gejala : takipneu, dispneu, progresif, pernapasan dangkal, penggunaan obat aksesoris, pelebaran nasal.
 Tanda : bunyi napas ronkhi, halus dan melemah, wajah pucat atau sianosis bibir atau kulit
 2) Aktivitas atau istirahat
 Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
 Tanda : penurunan toleransi aktivitas, letargi
 3) Integritas ego : banyaknya stressor
 4) Makanan atau cairan
 Gejala ; kehilangan napsu makan, mual, muntah
 Tanda: distensi abdomen, hiperperistaltik usus, kulit kering dengan tugor kulit buruk, penampilan kakeksia (malnutrisi)
 5) Nyeri atau kenyamanan
 Gejala : sakit kepala, nyeri dada (pleritis), meningkat oleh batuk, nyeri dada subternal (influenza), maligna, atralgia.
 Tanda : melindungi area yang sakit (pasien umumnya tidur pada posisi yang sakit untuk membatasi gerakan)(Doengos,2000).
 2. Diagnosa keperawatan
 a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi trakeobronkial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum. (Doenges, 2000 : 166)
 b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler, gangguan kapasitas pembawa aksigen darah, ganggguan pengiriman oksigen. (Doenges, 2000 : 166)
 c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam alveoli. (Doenges, 2000 :177)
 d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih, penurunan masukan oral. (Doenges, 2000 : 172)
 e. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia yang berhubungan dengan toksin bakteri bau dan rasa sputum, distensi abdomen atau gas.( Doenges, 2000 : 171)
 f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan insufisiensi oksigen untuk aktifitas sehari-hari. (Doenges, 2000 : 170)
 3. Rencana keperawatan
 1. Diagnosa : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi trakeobronkial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum
 Tujuan :
 a. Jalan nafas efektif dengan bunyi nafas bersih dan jelas
 b. Pasien dapat melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekret
 Hasil yang diharapkan :
 a) Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/ jelas
 b) Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas Misalnya: batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
 Intervensi :
 1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas. Misalnya: mengi, krekels dan ronchi.
 Rasional: Bersihan jalan nafas yang tidak efektif dapat dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas adventisius
 2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ ekspirasi.
 Rasional: Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress atau adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
 3) Berikan posisi yang nyaman buat pasien, misalnya posisi semi fowler
 Rasional: Posisi semi fowler akan mempermudah pasien untuk bernafas.
 4) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir
 Rasional: Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dipsnea dan menurunkan jebakan udara
 5) Observasi karakteristik batuk, bantu tindakan untuk memperbaiki ke efektifan upaya batuk.
 Rasional: Batuk dapat menetap, tetapi tidak efektif. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada.
 6) Kolaborasi untuk memberikan obat bronkodilator mis: B-agonis, epinefrin (adrenalin, Vaponefrin).
 Rasional: Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa.
 2. Diagnosa : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler, gangguan kapasitas pembawa oksigen darah, gangguan pengiriman oksigen.
 Tujuan :
 Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada distres pernafasan.
 Hasil yang diharapkan :
 a) Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
 b) Berpartisispasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi
 Intervensi :
 1) Kaji frekuensi, kedalaman, dan kemudahan pernafasan
 Rasional: Manifestasi distres pernafasan tergantung pada derajat keterlibatan paru dan status kesehatan umum
 2) Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku. Catat adanya sianosis.
 Rasional: Sianosis menunjukkan vasokontriksi atau respon tubuh terhadap demam atau menggigil dan terjadi hipoksemia.
 3) Kaji status mental
 Rasional: Gelisah, mudah terangsang, bingung dapat menunjukkan hipoksemia.
 4) Awasi frekuensi jantung atau irama
 Rasional: Takikardi biasanya ada karena akibat adanya demam atau dehidrasi.
 5) Awasi suhu tubuh. Bantu tindakan kenyamanan untuk mengurangi demam dan menggigil.
 Rasional: Demam tinggi sangat meningkatkan kebutuhan metabolik dan kebutuhan oksigen dan mengganggu oksigenasi seluler.
 6) Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam, dan batuk efektif
 Rasional: Tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiaki ventilasi.
 7) Kolaborasi pemberian oksigen dengan benar sesuai dengan indikasi
 Rasional: Mempertahankan PaO2 di atas 90 mmHg.
 3. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam alveoli
 Tujuan:
 Pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal dan paru jelas atau bersih
 Hasil yang diharapkan:
 a) pola nafas menjadi efektif
 b) Frekuensi dan kedalamanya dalam rentang normal (16-20x/menit)
 Intervensi :
 1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.
 Rasional: Kecepatan biasanya meningkat, dispnea, dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman bervariasi, ekspansi dada terbatas.
 2) Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius.
 Rasional: Bunyi nafas menurun atau tidak ada bila jalan nafas terdapat obstruksi kecil.
 3) Tinggikan kepala dan bentu mengubah posisi.
 Rasional: Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
 4) Observasi pola batuk dan karakter sekret.
 Rasional: Batuk biasanya mengeluarkan sputum dan mengindikasikan adanya kelainan.
 5) Bantu pasien untuk nafas dalam dan latihan batuk efektif.
 Rasional: Dapat meningkatkan pengeluaran sputum.
 6) Berikan humidifikasi tambahan
 Rasional: Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret untuk memudahkan pembersihan.
 7) Bantu fisioterapi dada, postural drainage
 Rasional: Memudahkan upaya pernafasan dan meningkatkan drainage sekret dari segmen paru ke dalam bronkus.
 8) Kolaborasi pemberian oksigen tambahan.
 Rasional: Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.
 4. Diagnosa : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilngan cairan berlebih, penurunan masukan oral.
 Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan dan elektrolit
 Hasil yang diharapkan :
 a) Intake dan output yang adekuat
 b) Tanda-tanda vital dalam batas normal
 c) Tugor kulit baik
 Intervensi :
 1) Kaji perubahan tanda vital, contoh: peningkatan suhu, takikardi, hipotensi.
 Rasional: Untuk menunjukkan adnya kekurangan cairan sistemik
 2) Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).
 Rasional: Indikator langsung keadekuatan masukan cairan
 3) Catat laporan mual atau muntah.
 Rasional: Adanya gejala ini menurunkan masukan oral
 4) Pantau masukan dan haluaran urine.
 Rasional: Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan penggantian
 5) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.
 Rasional: Memperbaiki ststus kesehatan
 5. Diagnosa : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia, distensi abdomen.
 Tujuan : Pemenuhan nutrisi yang terpenuhi secara adekuat.
 Hasil yang diharapkan :
 a) Menunjukkan peningkatan nafsu makan
 b) Mempertahankan atau meningkatkan berat badan
 c) Bissing usus dalam batas normal
 Intervensi :
 1) Identifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah.
 Rasional: Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah
 2) Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin, bantu kebersihan mulut.
 Rasional: Menghilangkan bahaya, rasa, bau,dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan mual
 3) Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.
 Rasional: Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan pengobatan ini
 4) Auskultasi bunyi usus, observasi atau palpasi distensi abdomen.
 Rasional: Bunyi usus mungkin menurun bila proses infeksi berat, distensi abdomen terjadi sebagai akibat menelan udara dan menunjukkan pengaruh toksin bakteri pada saluran gastro intestinal
 5) Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.
 Rasional: Adanya kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi, rendahnya tahanan terhadap infeksi, atau lambatnya respon terhadap terapi
 6) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna, secara nutrisi seimbang.
 Rasional :metode makan den kebutuhan kalori didasarkan pada situasi atau kebutuhan individu.
 6. Diagnosa : Intoleransi aktifitas berhubungan dengan insufisiensi oksigen untuk aktifitas hidup sehari-hari.
 Tujuan : Peningkatan toleransi terhadap aktifitas.
 Hasil yang diharapkan :
 a) Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas
 b) Tanda-tanda vital dalam batas normal
 Intervensi :
 1) Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas.
 Rasional: Menetapkan kemampuan atau kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi
 2) Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung selama fase akut.
 Rasional: Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat
 3) Jelaskan pentingnya istitahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbamgan aktivitas dan istirahat.
 Rasional: Tirah baring dipertahankan untuk menurunkan kebutuhan metabolik
 4) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
 Rasional: Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen(Marilyn E. Doenges, 2000).
 4. Pelaksanaan
 Adalah mengelolah dan mewujudkan dari rencana perawatan meliputi tindakan yang direncanakan oleh perawat melaksanakan anjuran dokter dan ketentuan RS.
 5. Evaluasi
 Merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah di buat pada tahap perencanaan.

 BAB III

 PENUTUP

 A. Kesimpulan
 Bronchopneomonia adalah salah satu jenis pneumonia tepatnya pneumononia lobaris yang penyebaran daerah infeksinya berupa penyebaran bercak dan dapat meluas ke parenkim paru yang ada disekitarnya.
 Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan orang dewasa, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan.
 B. Saran
 Ada beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam keperawatan agar menjadi lebih baik:
 1. Memperbanyak waktu pengkajian sampai evaluasi tentang perawatan bronkopneumonia pada anak.
 2. Melanjutkan intervensi keperawatan pada prioritas masalah perawatan bronkopneumonia pada anak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar