BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bronkopneumonia
disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang
terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan orang dewasa, yang disebabkan
oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga
sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih
sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan
daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita
jumpai pada anak-anak dan orang dewasa. Insiden penyakit ini pada negara
berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko
kematian yang tinggi,di Negara berkembang infeksi saluran napas bawah masih
tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan
Menurut WHO 2014 memperkirakan setiap tahunnya penyakit
Bronchopneumonia berperan dalam I juta kasus penyakit pernafasan yang
mematikan, kebanyakan terjadi di Negara berkembang seperti Afrika, Asia, India
dan Indonesia. Bronchopneumonia merupakan penyakit infeksi yang banyak
menyerang bayi dan anak balita bahkan orang dewasa sekalipun. Menurut laporan
WHO, sekitar 850.000 hingga 1,5 juta orang meninggal dunia tiap tahun akibat bronkopneumonia.
Bahkan UNICEF dan WHO menyebutkan pneumonia sebagai penyebab kematian anak
balita tertinggi, melebihi penyakit-penyakit lain seperti campak, malaria,
serta AIDS. Kejadian Bronchopneumonia pada masa balita berdampak jangka panjang
yang akan muncul pada masa dewasa yaitu dengan penurunan fungsi ventilasi paru.
Sehingga sampai sekarang Bronchopneumonia masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia.(Riskesdes,2014)
Di Indonesia, bronkopneumonia merupakan penyebab kematian
nomor dua setelah kardiovaskuler dan
TBC. Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Kasus bronkopneumonia
ditemukan paling banyak menyerang anak balita. Kejadian Bronchopneumonia pada anak di Indonesia
berkisar antara 23% – 27,71% /tahun. Selama kurun waktu tersebut cakupan
penemuan bronkopneumonia tidak pernah mencapai target nasional temasuk target
2014 yang sebesar 80%(Riskesdas. 2014)
B. Tujuan
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan yang tepat pada pasien
dengan penyakit broncopneumonia?
1.3 Tujuan Umum
Untuk dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan yang
tepat pada pasien dengan penyakit broncopneumonia.
1.4 Tujuan Khusus
1.4.1 Untuk mengetahui secara keseluruhan mengenai penyakit
broncopneumonia
1.4.2 Menambah pengetahuan mengenai berbagai penyakit pada
sistem pernafasan salah satunya
broncopneumonia yang telah
terjadi di masyarakat sekitar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar
Penyakit
1. Pengertian
Broncho pneumoni
adalah frekuensi komplikasi pulmonari, batuk produktif yang lama, tanda dan
gejalanya biasanya suhu meningkat, pernafasan meningkat (Suzanne G Bare, 1993).
Bronkho pneumonia
adalah salah satu peradangan paru yang terjadi pada jaringan paru atau alveoli
yang biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratus bagian atas selama
beberapa hari. Yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing lainnya. (Dep. Kes. 1996 : Halaman 106).
Bronchopneumoni
adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak,
teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke
parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. (Smeltzer & Suzanne C, 2002 :
572).
Bronchopneomonia
adalah penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter sekitar 3
sampai 4 cm mengelilingi dan juga melibatkan bronchi. (Sylvia A. Price &
Lorraine M.W, 2006: 805).
Kesimpulan
Bronchopneomonia adalah salah satu jenis pneumonia tepatnya pneumononia lobaris
yang penyebaran daerah infeksinya berupa penyebaran bercak dan dapat meluas ke
parenkim paru yang ada disekitarnya.
2. Etiologi
2. Etiologi
Secara umun individu yang terserang bronkopneumonia
diakibatkan oleh adanya penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi
organisme patogen. Orang yang normal dan
sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ pernafasan yang
terdiri atas : reflek glotis dan batuk, adanya lapisan mukus, gerakan silia
yang menggerakkan kuman keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat.
a. Faktor Infeksi
- Pada
neonatus : Streptocccus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
- Pada bayi :
Virus : Virus
parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
Organisme atipikal :
Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetella pertusis.
- Pada
anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumococcus, Mycobakterium tuberculosa.
- Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumococcus, Bordetella Pertusis, M. tuberculosis.
b. Faktor Non Infeksi
Terjadi
akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
Bronkopneumonia hidrokarbon dapat terjadi oleh karena
aspirasi selama penelanan muntah atau pemasangan selang NGT ( zat hidrokarbon
seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
Bronkopneumonia lipoid dapat terjadi akibat pemasukan obat
yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap
keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian
makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti
minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada
jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak
tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh
untuk terjadinya Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita
penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada
bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
3. patofisiologi
Bronkopneumonia
merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus penyebab
Bronchopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan
broncus dan alveolus dan jaringan sekitarnya. . Inflamasi pada bronkus ditandai
adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi
positif dan mual. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
A. Stadium I (4 – 12
jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia,
mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang
terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot
polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
B. Stadium
II/hepatisasi (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi
merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,
yaitu selama 48 jam.
C. Stadium
III/hepatisasi kelabu (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi
kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
D. Stadium
IV/resolusi (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium
resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel
fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali
ke strukturnya semula. Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan
sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual.
Bila penyebaran kuman
sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli,
fibrosis, emfisema dan atelektasis.Kolaps alveoli akan mengakibatkan
penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa
menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai
pelumas yang berfungsi untuk melembabkan rongga fleura. Emfisema ( tertimbunnya
cairan atau pus dalam rongga paru ) adalah tindak lanjut dari pembedahan.
Atelektasis mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis
respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan
mengakibatkan terjadinya gagal napas.
Komplikasi dan Prognosis Bronkopneumonia Disease
4. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada anak yang mengalami
bronkopneumonia terjadi akibat tidak dilakukan pengobatan secara segera.
Komplikasi yang kemungkinan terjadi pada diantaranya sebagai berikut:
Otitis media
Terjadi apabila anak yang mengalami bronkopnemonia tidak
segera diobati sehingga jumlah sputum menjadi berlebih dan akan masuk ke dalam
tuba eustaci sehingga menghalangi masuknya udara ke telinga tengah.
Bronkiektase
Hal ini terjadi akibat bronkus mengalami kerusakan dan
timbul fibrosis juga terdapat pelebaran bronkus akibat tumpukan nanah.
Abses Paru
Rongga bronkus terlalu banyak cairan akibat dari infeksi
bakteri dalam paru – paru.
Empiema
Anak yang mengalami bronkopneumonia, paru – parunya
mengalami infeksi akibat bakteri maupun virus sehingga rongga pleuranya berisi
nanah.
Prognosis
Prognosis dari penyakit bronkopneumonia yaitu dapat sembuh
total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada
anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk
pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama
diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan
memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi
memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor
infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
5. Penatalaksanaan
Terapi dan Tindakan medis
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji
resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup
lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifarmasi maka yang biasanya
diberikan:
Penisilin 50.000 U/kgBB/hari,ditambah dengan kloramfenikol
50-70 mg/kgBB/hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas
seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari.
Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan
campuran glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL
10 mEq/500 ml/botol infus.
Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis
metabolik akibat kurang makan dapat diberikan koreksi sesuai denagn hasil
analisa gas darah arteri.
Pasien bronkopnemonia ringan tidak usah dirawat dirumah
sakit.
Pencegahan Bronkopneumonia Disease
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan cara:
Mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia
Menghindari kontak dengan penderita penyakit bronkopneumonia
Meningkatkan sistem imun terhadap berbagai penyakit saluran
nafas seperti:
pola hidup sehat dengan cara makan makanan yang bergizi dan
teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, serta rajin berolahraga
melakukan vaksinasi seperti: Vaksinasi Pneumokokus,
Vaksinasi H. Influenza, Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak utamanya
anak dengan daya tahan tubuh yang rendah, vaksin influenza yang diberikan pada
anak sebelum anak sakit.
Penatalaksanaan
Keperawatan yang dapat diberikan pada klien bronkopneumonia adalah:
a. Menjaga kelancaran
pernapasan
b. Kebutuhan
istirahat
c. Kebutuhan nutrisi
dan cairan
d. Mengontrol suhu
tubuh
e. Mencegah
komplikasi atau gangguan rasa nyaman dan nyaman
Sementara
Penatalaksanaan medis yang dapat diberikan adalah:
a. Oksigen 2
liter/menit (sesuai kebutuhan klien)
b. Jika sesak tidak
terlalu hebat, dapat dimulai makan eksternal bertahap melalui selang
nasogastrik dengan feeding drip
c. Jika sekresi
lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta agonis
untuk transpor muskusilier
d. Koreksi gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit (Arief Mansjoer,2000).
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Fokus Pengkajian
Usia bronkopneumoni
sering terjadi pada anak. Kasus terbanyak sering terjadi pada anak berusia
dibawah 3 tahun dan kematian terbanyak terjadi pada bayi berusia kurang dari 2
bulan, tetapi pada usia dewasa juga masih sering mengalami bronkopneumonia.
b. Keluhan Utama :
sesak nafas
c. Riwayat Penyakit
1) Pneumonia Virus
Didahului oleh
gejala-gejala infeksi saluran nafas, termasuk renitis (alergi) dan batuk, serta
suhu badan lebih rendah daripada pneumonia bakteri.
2) Pneumonia
Stafilokokus (bakteri)
Didahului oleh
infeksi saluran pernapasan akut atau bawah dalam beberapa hari hingga seminggu,
kondisi suhu tubuh tinggi, batuk mengalami kesulitan pernapasan.
d. Riwayat Kesehatan
Dahulu
Sering menderita
penyakit saluran pernapasan bagian atas riwayat penyakit fertusis yaitu
penyakit peradangan pernapasan dengan gejala bertahap panjang dan lama yang
disertai wheezing (pada Bronchopneumonia).
e. Pengkajian Fisik
1) Inspeksi : Perlu
diperhatikan adanya takhipnea, dispnea, sianosis sirkumoral, pernafasan cuping
hidung, distensi abdomen, batuk semula non produktif menjadi produktif, serta
nyeri dada pada waktu menarik nafas pada pneumonia berat, tarikan dinding dada
akan tampak jelas.
2) Palpasi : Suara
redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin
meningkat pada sisi yang sakit dan nadi mengalami peningkatan.
3) Perkusi : Suara
redup pada sisi yang sakit.
4) Auskultasi : Pada
pneumoniakan terdengar stidor suara nafas berjurang, ronkhi halus pada sisi
yang sakit dan ronkhi pada sisi yang resolusi, pernafasan bronchial,
bronkhofoni, kadang-kadang terdenar bising gesek pleura.
f. Data Fokus
1) Pernapasan
Gejala : takipneu,
dispneu, progresif, pernapasan dangkal, penggunaan obat aksesoris, pelebaran
nasal.
Tanda : bunyi napas
ronkhi, halus dan melemah, wajah pucat atau sianosis bibir atau kulit
2) Aktivitas atau
istirahat
Gejala : kelemahan,
kelelahan, insomnia
Tanda : penurunan
toleransi aktivitas, letargi
3) Integritas ego :
banyaknya stressor
4) Makanan atau
cairan
Gejala ; kehilangan
napsu makan, mual, muntah
Tanda: distensi
abdomen, hiperperistaltik usus, kulit kering dengan tugor kulit buruk,
penampilan kakeksia (malnutrisi)
5) Nyeri atau
kenyamanan
Gejala : sakit
kepala, nyeri dada (pleritis), meningkat oleh batuk, nyeri dada subternal
(influenza), maligna, atralgia.
Tanda : melindungi
area yang sakit (pasien umumnya tidur pada posisi yang sakit untuk membatasi
gerakan)(Doengos,2000).
2. Diagnosa
keperawatan
a. Bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi trakeobronkial, pembentukan
edema, peningkatan produksi sputum. (Doenges, 2000 : 166)
b. Gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler, gangguan
kapasitas pembawa aksigen darah, ganggguan pengiriman oksigen. (Doenges, 2000 :
166)
c. Pola nafas tidak
efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam alveoli. (Doenges, 2000 :177)
d. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebih, penurunan masukan oral. (Doenges, 2000 : 172)
e. Nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kebutuhan metabolik sekunder terhadap
demam dan proses infeksi, anoreksia yang berhubungan dengan toksin bakteri bau
dan rasa sputum, distensi abdomen atau gas.( Doenges, 2000 : 171)
f. Intoleransi
aktifitas berhubungan dengan insufisiensi oksigen untuk aktifitas sehari-hari.
(Doenges, 2000 : 170)
3. Rencana
keperawatan
1. Diagnosa :
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi trakeobronkial,
pembentukan edema, peningkatan produksi sputum
Tujuan :
a. Jalan nafas
efektif dengan bunyi nafas bersih dan jelas
b. Pasien dapat
melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekret
Hasil yang diharapkan
:
a) Mempertahankan
jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/ jelas
b) Menunjukkan
perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas Misalnya: batuk efektif dan
mengeluarkan sekret.
Intervensi :
1) Auskultasi bunyi
nafas, catat adanya bunyi nafas. Misalnya: mengi, krekels dan ronchi.
Rasional: Bersihan
jalan nafas yang tidak efektif dapat dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas
adventisius
2) Kaji atau pantau
frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ ekspirasi.
Rasional: Takipnea
biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau
selama stress atau adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan
frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
3) Berikan posisi
yang nyaman buat pasien, misalnya posisi semi fowler
Rasional: Posisi semi
fowler akan mempermudah pasien untuk bernafas.
4) Dorong atau bantu
latihan nafas abdomen atau bibir
Rasional: Memberikan
pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dipsnea dan menurunkan
jebakan udara
5) Observasi
karakteristik batuk, bantu tindakan untuk memperbaiki ke efektifan upaya batuk.
Rasional: Batuk dapat
menetap, tetapi tidak efektif. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi
atau kepala di bawah setelah perkusi dada.
6) Kolaborasi untuk
memberikan obat bronkodilator mis: B-agonis, epinefrin (adrenalin, Vaponefrin).
Rasional: Merilekskan
otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme jalan nafas, mengi,
dan produksi mukosa.
2. Diagnosa :
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler,
gangguan kapasitas pembawa oksigen darah, gangguan pengiriman oksigen.
Tujuan :
Perbaikan ventilasi
dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada distres
pernafasan.
Hasil yang diharapkan
:
a) Menunjukkan adanya
perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
b) Berpartisispasi
pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi
Intervensi :
1) Kaji frekuensi,
kedalaman, dan kemudahan pernafasan
Rasional: Manifestasi
distres pernafasan tergantung pada derajat keterlibatan paru dan status
kesehatan umum
2) Observasi warna
kulit, membran mukosa dan kuku. Catat adanya sianosis.
Rasional: Sianosis
menunjukkan vasokontriksi atau respon tubuh terhadap demam atau menggigil dan
terjadi hipoksemia.
3) Kaji status mental
Rasional: Gelisah,
mudah terangsang, bingung dapat menunjukkan hipoksemia.
4) Awasi frekuensi
jantung atau irama
Rasional: Takikardi
biasanya ada karena akibat adanya demam atau dehidrasi.
5) Awasi suhu tubuh.
Bantu tindakan kenyamanan untuk mengurangi demam dan menggigil.
Rasional: Demam
tinggi sangat meningkatkan kebutuhan metabolik dan kebutuhan oksigen dan
mengganggu oksigenasi seluler.
6) Tinggikan kepala
dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam, dan batuk efektif
Rasional: Tindakan
ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran sekret untuk
memperbaiaki ventilasi.
7) Kolaborasi
pemberian oksigen dengan benar sesuai dengan indikasi
Rasional:
Mempertahankan PaO2 di atas 90 mmHg.
3. Diagnosa : Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam alveoli
Tujuan:
Pola nafas efektif
dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal dan paru jelas atau bersih
Hasil yang
diharapkan:
a) pola nafas menjadi
efektif
b) Frekuensi dan
kedalamanya dalam rentang normal (16-20x/menit)
Intervensi :
1) Kaji frekuensi,
kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.
Rasional: Kecepatan
biasanya meningkat, dispnea, dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman
bervariasi, ekspansi dada terbatas.
2) Auskultasi bunyi
nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius.
Rasional: Bunyi nafas
menurun atau tidak ada bila jalan nafas terdapat obstruksi kecil.
3) Tinggikan kepala
dan bentu mengubah posisi.
Rasional: Duduk
tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
4) Observasi pola
batuk dan karakter sekret.
Rasional: Batuk
biasanya mengeluarkan sputum dan mengindikasikan adanya kelainan.
5) Bantu pasien untuk
nafas dalam dan latihan batuk efektif.
Rasional: Dapat
meningkatkan pengeluaran sputum.
6) Berikan
humidifikasi tambahan
Rasional: Memberikan
kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret untuk memudahkan
pembersihan.
7) Bantu fisioterapi
dada, postural drainage
Rasional: Memudahkan
upaya pernafasan dan meningkatkan drainage sekret dari segmen paru ke dalam
bronkus.
8) Kolaborasi
pemberian oksigen tambahan.
Rasional:
Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.
4. Diagnosa :
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilngan cairan
berlebih, penurunan masukan oral.
Tujuan : Menunjukkan
keseimbangan cairan dan elektrolit
Hasil yang diharapkan
:
a) Intake dan output
yang adekuat
b) Tanda-tanda vital
dalam batas normal
c) Tugor kulit baik
Intervensi :
1) Kaji perubahan
tanda vital, contoh: peningkatan suhu, takikardi, hipotensi.
Rasional: Untuk
menunjukkan adnya kekurangan cairan sistemik
2) Kaji turgor kulit,
kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).
Rasional: Indikator
langsung keadekuatan masukan cairan
3) Catat laporan mual
atau muntah.
Rasional: Adanya
gejala ini menurunkan masukan oral
4) Pantau masukan dan
haluaran urine.
Rasional: Memberikan
informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan penggantian
5) Kolaborasi
pemberian obat sesuai indikasi.
Rasional: Memperbaiki
ststus kesehatan
5. Diagnosa : Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik
sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia, distensi abdomen.
Tujuan : Pemenuhan
nutrisi yang terpenuhi secara adekuat.
Hasil yang diharapkan
:
a) Menunjukkan
peningkatan nafsu makan
b) Mempertahankan
atau meningkatkan berat badan
c) Bissing usus dalam
batas normal
Intervensi :
1) Identifikasi
faktor yang menimbulkan mual atau muntah.
Rasional: Pilihan
intervensi tergantung pada penyebab masalah
2) Berikan wadah
tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin, bantu kebersihan mulut.
Rasional:
Menghilangkan bahaya, rasa, bau,dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan
mual
3) Jadwalkan pengobatan
pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.
Rasional: Menurunkan
efek mual yang berhubungan dengan pengobatan ini
4) Auskultasi bunyi
usus, observasi atau palpasi distensi abdomen.
Rasional: Bunyi usus
mungkin menurun bila proses infeksi berat, distensi abdomen terjadi sebagai
akibat menelan udara dan menunjukkan pengaruh toksin bakteri pada saluran
gastro intestinal
5) Evaluasi status
nutrisi umum, ukur berat badan dasar.
Rasional: Adanya
kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi, rendahnya tahanan terhadap
infeksi, atau lambatnya respon terhadap terapi
6) Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna, secara nutrisi seimbang.
Rasional :metode
makan den kebutuhan kalori didasarkan pada situasi atau kebutuhan individu.
6. Diagnosa :
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan insufisiensi oksigen untuk aktifitas
hidup sehari-hari.
Tujuan : Peningkatan
toleransi terhadap aktifitas.
Hasil yang diharapkan
:
a) Menunjukkan
peningkatan toleransi terhadap aktifitas
b) Tanda-tanda vital
dalam batas normal
Intervensi :
1) Evaluasi respon
pasien terhadap aktivitas.
Rasional: Menetapkan
kemampuan atau kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi
2) Berikan lingkungan
yang tenang dan batasi pengunjung selama fase akut.
Rasional: Menurunkan
stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat
3) Jelaskan
pentingnya istitahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbamgan
aktivitas dan istirahat.
Rasional: Tirah
baring dipertahankan untuk menurunkan kebutuhan metabolik
4) Bantu aktivitas
perawatan diri yang diperlukan.
Rasional:
Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen(Marilyn E. Doenges, 2000).
4. Pelaksanaan
Adalah mengelolah dan
mewujudkan dari rencana perawatan meliputi tindakan yang direncanakan oleh
perawat melaksanakan anjuran dokter dan ketentuan RS.
5. Evaluasi
Merupakan tahap akhir
dari proses keperawatan yang menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh
intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang
diamati dengan kriteria hasil yang telah di buat pada tahap perencanaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bronchopneomonia
adalah salah satu jenis pneumonia tepatnya pneumononia lobaris yang penyebaran
daerah infeksinya berupa penyebaran bercak dan dapat meluas ke parenkim paru
yang ada disekitarnya.
Bronkopneumonia
disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang
terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan orang dewasa, yang disebabkan
oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga
sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan.
B. Saran
Ada beberapa saran
yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam keperawatan agar menjadi lebih baik:
1. Memperbanyak waktu
pengkajian sampai evaluasi tentang perawatan bronkopneumonia pada anak.
2. Melanjutkan
intervensi keperawatan pada prioritas masalah perawatan bronkopneumonia pada
anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar